Kasih Kristus Analogi Relasi Suami Istri (Efesus 5:22-33)
Latar Belakang
Surat Efesus merupkan surat yang mendorong pembacanya
untuk kagum menyembah Allah dan hidup sesuai dengan kebenaran firman Tuhan.[1]
Surat Efesus memusatkan perhatiannya pada karya Allah di dalam sejarah melalui
Yesus Kristus baik karya yang sudah diperbuat atau yang masih diperbuat. Surat
ini juga mengaitkan ajaran Kristen dan kewajiban Kristiani, iman Kristen dan kehidupan
Kristiani, serta apa yang harus dilakukan untuk menanggapi karya Allah itu.[2]
Surat
Efesus tidak ditujukan kepada mereka yang baru masuk dalam iman Kristen tetapi
kepada mereka yang telah mencapai kematangan tertentu dalam pengalaman rohani
dan ingin meningkatkan kepada pengetahuan dan kehidupan yang lebih penuh,
sehingga tujuan surat ini adalah untuk memimpin jemaat mencapai kedewasaan
rohani. Surat ini juga berfungsi untuk mengajar berbagai doktrin kepada jemaat
misalnya: Roh Kudus. Roh Kudus digambarkan sebagai penggerak kehidupan gereja, yang
merupakan meterai penerimaan (1:13), jalan masuk kepada Allah (2:18), sumber
kebenaran yang diberitakan (3:5), rahasia kekuatan semua bangsa (3:16),
pengikat kesatuan (4:3-4), penuntun pikiran dan ucapan (4:30), perangsang
kesukacitaan (5:18), dan perisai penahan pertikaian (6:17). Bukan hanya itu,
naskah dalam surat Efesus saling mengikuti secara logis. Dengan demikian, surat
ini menuntun umat Kristen dari pengertian tentang asal-usul keselamatannya di dalam
pikiran dan perbuatan Allah Tritungal kepada penerapan praktis keselamatan itu
dalam kehidupan sehari-hari.[3]
Pada pasal kelima Rasul Paulus menulisan pola relasi
antar suami istri setelah ia membahas tentang berbagai nasihat dalam hidup.
Hubungan baru dengan Allah menghasilkan hubungan yang harmonis dalam rumah
tangga.[4]
Ini merupakan hal yang menarik untuk dibahas, sebab relasi rumah tangga
merupakan isu yang dekat dengan kita.
I.
Teks
Efesus 5:22-33 dan Budaya Efesus
Bagian
Efesus ini berisi suatu rangkaian nasihat yang disebutkan secara berturut-turut
kepada para istri dan suami. Ini merupakan dimensi pertama yang yang disorot
Rasul Paulus yaitu hubungan antar anggota keluarga dalam rumah tangga sebelum
ia melanjutkan nasihat ke berbagai pihak. Jemaat sebagai keluarga tidak dapat
dipahami jika tidak mengenal keluarga-keluarga yang menerapkan kasih ilahi.[5]
Teks
ini diawali tanpa suatu partikel penghubung, dengan demikian menjadi suatu unit
mandiri, tetapi secara signifikan digabungkan dalam isi surat. Rasul Paulus
kemudian menghubungkan perikop tentang suami dan isteri (5:22-33) secara
kreatif, dengan visi yang lebih luas akan jemaat sebagai pengantin/tubuh
Kristus.[6] Martin
Luther menyebut pola ini sebagai Haustafel
yang berarti, “daftar aturan untuk rumah tangga (housetable).” Ini juga dapat disebut sebagai “aturan peranan,”
karena masing-masing anggota disebutkan berdasarkan posisi dan peran mereka di dalam
rumah tangga. Setiap anggota diberikan perintah (dalam bahasa asli moodnya
imperatif) dan suatu pernyataan motivasi untuk melakukan perintah itu.[7] Beberapa
penafsir seperti Markus Barth, Grosheide, dan van Leeuwen mengatakan bahwa
salah satu alasan nasihat tersebut diberikan karena pada waktu itu, istri-istri
ingin bebas dan berusaha membebaskan diri dari ikatan kasih dan solidaritas
dengan suami-suami mereka.[8]
Ada
beberapa pembahasan ilmiah tentang asal mula aturan rumah tangga dalam kitab Perjanjian
Baru, misalnya yang diambil dari filosofi moral Stoa, atau dimediasi pada
Kekristenan awal dari Helenistik Yudaisme, tetapi berdasarkan informasi yang
lebih baru, aturan rumah tangga ini dilatarbelakangi oleh manajemen rumah
tangga dalam dunia Yunani-Romawi. Pembahasan ilmiah tersebut memperlakukan
relasi suami istri, anak-orangtua, dan tuan-hamba dalam hubungan otoritas dan
sikap tunduk, dan memahami rumah tangga sebagai bagian yang terkait erat dengan
isu yang lebih luas dari negara. Bagi dunia Yunani-Romawi, rumah tangga dilihat
sebagai fondasi negara. Oleh karena itu, manajemen rumah tangga yang tepat
menjadi perhatian sosial dan politis yang penting.[9]
Gagasan
tentang menajemen rumah tangga Yunani Romawi memiliki titik temu yang
signifikan dengan aturan rumah tangga Perjanjian Baru, namun ada juga perbedaan
yang penting. Perjanjian Baru tidak membandingkan rumah tangga dengan suatu
entitas politis seperti sebuah kota atau bangsa, seperti yang dilakukan
Aristoteles dan yang lainnya. Penanganan Perjanjian Baru dengan aturan rumah
tangga (Ef. 5:22-6:9; Kol. 3:18-4:1; 1 Ptr. 2: 18-3:7; 1Tim. 2:8-15; 6:1-10;
Tit. 2:1-10) tidak menyebutkan negara, sementara diskusi Paulus tentang negara
(Rom. 13) tidak merujuk kepada rumah tangga, juga dasar atau model dari aturan
tersebut, bersifat politis dalam dunia Helenis, tetapi dalam Efesus dan Kolose,
contohnya, modelnya, dan gaya motivasinya adalah Kristus sendiri,[10]
meskipun secara formil mirip dengan adat kebiasaan yang dipakai oleh dunia kafir
di masa itu, tetapi esensinya berbeda.[11] Andrew
Lincoln mengatakan bahwa meskipun pembahasan tentang aturan rumah tangga dalam
dunia kontemporer Yunani-Romawi dapat mempengaruhi orang-orang Kristen untuk
mengangkat topik ini, namun tidak ada model tunggal yang mana aturan Kristen
ini bergantung secara langsung terhadap kebudayaan di masa itu. Ernest Best
juga mengatakan bahwa pertanyaan mengenai asal-usul bentuk mungkin tidak
penting, namun ada materi tradisional lain, khususnya Kejadian 2:24 (Im. 19:18;
Kel. 20:12; Yeh. 16:1-14), yang mendukung dan menyediakan dasar theologis dari
5: 22-33.[12]
II.
Sikap
Istri-Suami di dalam Rumah Tangga
Pada
bagian ini akan dipaparkan bagaimana sikap istri terhadap suami di dalam tumah
tangga. Pada bagian awal teks ini Rasul Paulus memberikan perintah pertama
kepada para istri. Adapun perintah itu adalah untuk tunduk. Kata “tunduk” dalam
bahasa Yunani adalah ὑποτάσσεται (hupotassetai; present, indikatif, middle) dari kata
dasar ὑποτάγϵ (hupotage) yang memiliki arti yakni, patuh, taat dan tunduk.
Kepatuhan, ketaatan dan ketundukan ini harus dilakukan secara terus menerus
karena bersifat present.[13] Menariknya
kata ini berada diawal sebelum Paulus memerintahkan istri untuk tunduk (ay.
21).
Teks
ini menginformasikan tentang hubungan pernikahan di mana, istri disebut
pertama, yang dinasihati untuk tunduk (hupotage) kepada suami seperti kepada
Tuhan, meskipun ayat ini tidak berisi verba apapun. Kata “tunduk” dipindahkan
dari ay. 21, dan dipahami sebagai imperatif
dari pada partisipel. Gagasan tunduk
dalam ayat sebelumnya sekarang dijabarkan tanpa pengulangan verba. Kata
“tunduk” terkait erat dengan sikap merendah seseorang dalam suatu urutan
kepangkatan kepada yang lain yang berada di atas, yaitu dalam otoritas atas
seseorang. Inti dari sikap ini adalah gagasan “urutan.” Allah telah mendirikan
kepemimpinan tetap dan peran otoritas dalam keluarga, dan sikap tunduk adalah
suatu pengakuan rendah hati akan urutan ilahi tersebut.[14]
Kata ini juga dapat ditemui dalam surat-surat Paulus yang
lain (Tit. 2:9, 3:1; 1 Tim. 3:4, Ef. 6:1) dan tulisan Rasul Petrus (1 Ptr. 2:13,
18, 1 Ptr. 5:5). Akan tetapi digunakan dalam beberapa relasi seperti antar tuan
dan hamba, kepada orang muda yang harus tunduk kepada yang lebih tua, nasihat
kepada jemaat untuk tunduk terhadap negara dan anak kepada orangtua.[15] Memang
ada penafsir yang berpendapat bahwa hubungan ini harus ditafsirkan sebagai
hubungan antara tuan dan hamba, orangtua dan anak-anak. Namun pendapat ini,
tidaklah tepat, sebab kata Yunani yang dipakai adalah hupotage, dan kata ini tidak hanya untuk anak-anak, hamba dan
wanita tetapi juga untuk laki-laki (suami-suami).[16]Kata
“tunduk” atau merendahkan diri ditemukan juga dalam sikap tunduk Kristus pada
otoritas Bapa (1Kor. 15:28) dan menunjukkan bahwa kata ini adalah sikap tunduk
yang fungsional tanpa menyiratkan inferioritas, atau kurangnya hormat dan
kemuliaan.[17]Kata hupotage
memiliki arti lain setelah seseorang berada di dalam Kristus. Ini bukanlah
sesuatu yang dipaksakan dan tidak sama dengan sikap seorang hamba terhadap
tuannya. Ini adalah jawaban istri terhadap kasih suaminya.[18]
Ketundukan gereja kepada Kristus sebagai pola ketundukan istri kepada suaminya,
maka tidak heran jika dibagian selanjutnya istri diperintahkan untuk tunduk di
dalam segala sesuatu.[19]
Teks ini merupakan bagian yang menarik yang perintahnya
hampir sama dengan Kolose 3:18-4:1, tetapi tidak sama dengan perintah di
Kolose. Sikap tunduk dalam bagian ini bukanlah sikap yang saling menguntungkan
seperti di Kolose di mana istri diarahkan untuk tunduk kepada suami, anak-anak untuk
taat kepada orangtua dan budak kepada tuan dimana kepatuhan tidak berbalas.
Akan tetapi ciri khas dalam Efesus bahwa hubungan suami istri diperlakukan
sebagai analogi dengan hubungan antara Kristus dan gereja.[20]
Sikap
tunduk jemaat pada Kristus sekarang dihadirkan sebagai teladan bagi sikap
tunduk istri kepada suaminya. Elemen tambahan yang menguatkan nasihat ini
adalah frasa kesimpulan, “dalam segala sesuatu.” Frasa “segala sesuatu” dalam
bahasa Yunani adalah ἐν παντί (en panti). Artinya, dalam segala hal, di manapun dan
kapanpun. Berdasarkan kitab Kolose ungkapan ini
digunakan pada ketaatan dari anak kepada orangtua (Kol. 3:20), dan dari pada
hamba kepada tuannya (Kol. 3:22). Jika frasa tersebut dihubungkan dengan hubungan
rumah tangga maka istri harus tunduk pada suaminya dalam setiap wilayah
kehidupan. Jadi ketundukan istri, mencakup semua hal bukan seperti klaim
beberapa orang yang mengatakan hanya kepada masalah seksual atau beberapa
lingkup tertentu. Tidak ada bagian di luar istri yang bisa berada di luar
relasinya dengan suaminya dan di luar sikap tunduknya kepada suami, sebagaimana
jemaat tunduk kepada Kristus dalam segala sesuatu, demikian juga dalam suatu
lingkup, istri diharapkan tunduk kepada suaminya.[21]
Selanjutnya,
nasihat tunduk dapat dilihat melalui rancangan Allah di mana suami dan istri adalah satu daging
(ay. 31; Kej 2:24), dan Allah bermaksud agar mereka “berfungsi bersama di bawah
satu kepala, bukan sebagai dua individu otonom yang hidup bersama.” Sikap
tunduk istri membawa aspek praktis sehingga sikap tunduk ini menciptakan
keefektifan yang lebih besar dalam kerja mereka bersama sebagai kesatuan.[22]
Sesuai
dengan pernyataan terstruktur di ay. 21 yang memperkenalkan topik “tunduk,”
tiga paragraf tentang aturan-aturan rumah tangga selanjutnya berbicara mengenai
sikap tunduk orang Kristen. Anggota yang bersikap tunduk disebutkan pertama dan
dinasihatkan untuk tunduk dan taat. Para istri, anak, dan hamba disebutkan sama
dengan para suami, ayah dan tuan di mana mereka juga, rekan yang
bertanggungjawab secara etis yang diharapkan melakukan apa yang “sudah
seharusnya demikian” (6:1), “seperti kepada Tuhan” (5:22; 6:5), demikian juga
dengan suami, ayah dan orang bebas.
Akan
tetapi nasihat untuk bersikap tunduk ini tidak berdiri sendiri; anggota yang
disebut belakangan dari masing-masing pasangan segera dinasihati dan diingatkan
tanggungjawabnya. Nasihat kembar ini berdiri bersama-sama, dan yang pertama
tidak boleh ditafsirkan terpisah dari yang kedua. Masing-masing anggota
keluarga atau rumah tangga berada pada posisi dalam urutan penciptaan dan
memiliki tanggungjawab pasti. Terpisah dari pernyataan di ayat 21 yang di
dalamnya orang percaya harus merendahkan dirinya seorang akan yang lain di
dalam takut akan Kristus, dan kemudian dijabarkan dalam aturan-aturan rumah
tangga di 5:33-6:9. Elemen dari bagian pertama dan kedua (ay. 22-24 dan ay.
25-28a) disusun dalam suatu cara yang sama. Pertama,
suatu nasihat diberikan (kepada “istri” ay. 22 dan “suami” ay. 25, berturut-turut),
kemudian relasi Kristus dengan jemaat dihadirkan sebagai model (type) yang
dicontoh (“sebagaimana Kristus” ay. 24, 25).[23]Kemudian, perintahnya diulang ditandai
dengan frasa “demikian juga.” Variasi signifikannya ialah bahwa Paulus menjabarkan
secara lebih detail relasi Kristus dengan jemaat pada bagian kedua (yaitu
dengan rujukan kepada suami) dari pada yang ia lakukan pada yang pertama.
Terakhir, dalam ay. 33 pembahasan diakhiri dengan dua nasihat rangkuman yang
didalamnya kewajiban dan tanggungjawab para suami dan istri diulang secara
singkat.[24]
Ide
dari sikap tunduk pada otoritas secara umum dan dalam keluarga biasanya tidak
disukai dalam dunia yang menghargai sikap serba boleh dan kebebasan, tetapi
konsep ini tidak sama dengan konsep tirani dan sikap tunduk yang menyiratkan
inferioritas. Para istri dan suami memiliki peran berbeda yang ditetapkan
Allah, tetapi semua memiliki martabat yang sama karena mereka telah diciptakan
dalam gambar ilahi dan dalam Kristus yang telah mengenakan manusia baru yang
diciptakan untuk menjadi seperti Allah (4:24). Paulus tidak menasehati wanita
tunduk kepada setiap pria, tetapi para istri kepada suami. Hal ini menekankan
karakter sukarela dari sikap tunduk ini. Nasihat Paulus kepada para istri
adalah suatu seruan kepada orang yang bebas dan bertanggungjawab yang hanya
dapat memperhatikan dengan sukarela, tidak pernah oleh penghilangan atau
pelanggaran kehendak manusia, terlebih lagi dengan sarana sikap tunduk dan
merendah.[25]
Implikasinya adalah bahwa kepatuhan istri Kristen kepada suaminya merupakan
salah satu aspek ketaatan mereka kepada Tuhan.[26] Pada
saat istri tunduk kepada suami maka itu bukanlah perendahan martabat dan hak.
Ini adalah ketetapan kepada istri secara fungsional.
Motivasi
para istri tunduk kepada suami terdapat dalam frasa terakhir yaitu: seperti
kepada Tuhan atau dalam bahasa asli τῷ κυρίῳ, (to Kurio). Nasihat umum dari ay.
21 menjadi tunduk dalam “takut akan Kristus” menemukan ungkapan konkret untuk
istri dalam situasi pernikahan seperti ia tunduk kepada suaminya, maka dalam
tindakan sejati tersebut ia sedang tunduk kepada Tuhan. Respons sukarelanya
tidak dipahami sebagai terpisah dari ketaatannya kepada Kristus. Ini adalah
bagian yang tak terpisahkan dari cara ia melayani Tuhan Yesus.[27]
Alasan
untuk ketaatan istri kepada suami dijelaskan melalui klausa penyebab: “karena
suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat.” Pada dua
tempat yang lebih awal dalam Efesus, istilah kunci adalah “kepala” atau kephale (κεφαλὴ). Kata “kepala” di sini dapat diartikan sebagai sumber
atau asal (Kej. 2:21-24), di mana wanita dibuat dari pria. Akan tetapi dalam
konteks ini kata, “kepala,” memiliki gagasan tentang otoritas yang melekat pada
suami setelah analogi pengepalan Kristus atas gereja.[28]Dengan
demikian sebenarnya kata ini merujuk kepada Kristus (1:22; 4:15). Pada bagian
ini untuk pertama kali, pengepalaan suami dinyatakan sebagai sebuah fakta dan dijadikan
dasar bagi sikap tunduk dari istri.[29]
Asal
mula pengepalaan ini tidak diuraikan di sini, meskipun dalam penanganan lebih
utuh dari 1 Korintus 11:3-12 dan 1 Timotius 2:11-13, ini didasarkan pada urutan
penciptaan, khususnya narasi kejadian 2. Istilah kepala dan tunduk tidak
mendirikan streotip perilaku maskulin
dan feminim. Natur pengepalaan suami
dalam masyarakat baru Allah dijelaskan berkaitan dengan pengepalaan Kristus.
Para suami adalah kepala istri sama dengan Kristus adalah kepala jemaat. Pengepalaan
Kristus atas jemaat diungkapkan dengan Ia mengasihi jemaat dan memberikan
hidup-Nya, seperti yang jelas ditunjukkan ay. 25-27. Ini akan memiliki suatu
implikasi besar untuk perilaku suami sebagai kepala istrinya.[30]Ketergantungan
istri terhadap suami dan kewajibannya untuk menerima kepemimpinannya adalah
gambaran bagaimana gereja harus hidup dan bertindak terhadap keilahian-Nya.[31]
Pada
bagian ini disebutkan frasa “Dialah yang menyelamatkan tubuh” sekilas terlihat
agak mengejutkan dan menyebabkan para ahli eksegesis bertanya apakah kata-kata
ini merujuk kepada peran suami sebagai pelindung istri atau bagian dari analogi
Kristus-jemaat/suami-istri, sehingga menegaskan bahwa sama seperti Kristus
adalah Juruselamat jemaat demikian juga suami dalam beberapa pengertian
juruselamat bagi istrinya.
Bahasa
asli yang dipakai adalah σωτὴρ (soter) yang artinya juruselamat. Istilah
juruselamat yang muncul 24 kali dalam Perjanjian Baru selalu merujuk kepada
Yesus atau Allah, tetapi tidak pernah pada keberadaan manusia. Dengan demikian,
Paulus sedang menasihati para istri untuk tunduk kepada para suami mereka
karena pengepalaan suami pararel dengan pengepalaan Kristus atau pemerintahaan
atas jemaat. Paulus kemudian menambahkan bahwa Pribadi yang adalah kepala
jemaat tidak lain dari pribadi yang adalah juruselamat tubuh. Aktivitas
keselamatannya, khususnya kematian-Nya sebagai korban, adalah untuk melepaskan
manusia dari kehancuran rohani (2:1-10).[32]
Untuk itu istri harus tunduk kepada suami karena suami adalah kepala, sama
seperti Kristus adalah kepala jemaat, Sang Juruselamat.
III.
Sikap Suami-istri di
dalam Rumah Tangga
Bagian
kedua yang paling panjang dalam
aturan rumah tangga, adalah nasihat kepada suami dalam 5:25-32. Bagian ini
terdiri dari dua bagian, Pertama (ay. 25-27) yang di dalamnya para suami
dinasihati untuk mengasihi istri mereka seperti Kristus mengasihi jemaat-Nya,
dan Kedua (ay. 28:32) di mana nasihat untuk mengasihi istri didasarkan
pada kasih seseorang terhadap dirinya sendiri.[33] Nasihat
ini sebenarnya muncul di dalam kondisi yang mana suami bertindak sebagai tuan
terhadap istri-istri mereka dan karena itu memperlakukan mereka dengan tidak
adil. Suami-suami juga bersikap egois yang mempergunakan istri mereka untuk
kepentingan mereka sendiri. Akibat kondisi ini Paulus menekankan agar suami
mengasihi istri dengan kasih yang sejati seperti kasih Kristus kepada jemaat.[34] Berikut akan diuraikan bagaimana sikap suami
terhadap istri:
A.
Suami
Mengasihi Istri Seperti Kristus Mengasihi Jemaat (ay. 25-27)
Sikap
tunduk istri kepada suaminya memiliki imbangnya dalam kewajiban suami untuk
mengasihi istri. Kata kasih yang dipakai adalah ἀγαπᾶτε (agapate;
Present, aktif, imperatif; dari kata ἀγαπἠ). Artinya, mengasihi, di mana kasih tersebut adalah
kasih yang rela berkorban, tanpa pamrih seperti kasih Allah kepada manusia.
Kata tersebut juga adalah perintah yang bersifat terus-menerus, tanpa dibatasi
oleh waktu dan suasana.[35]
Pola
kasih suami adalah Tuhan Yesus, yang pengepalaan-Nya ditunjukkan dalam
kasih-Nya kepada jemaat dan menyerahkan diri-Nya sendiri untuk jemaat, supaya
dengan demikian Ia menempatkan jemaat dihadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa
cacat atau kerut (ay. 25-27). Dengan
demikian, suami harus mengasihi istri seperti kasih Kristus kepada jemaat yang
harus dilakukan secara terus-menerus,[36]mereka
tidak boleh semena-mena terhadap istri namun dituntut untuk mengasihi istri.
Ini akan membuat setiap suami terus menunjukkan kepedulian dan pelayanan kasih
untuk kesejahteraan menyeluruh istri.[37] Tidak hanya itu, suami juga membantu, melayani
dan memimpin istrinya ke dalam suatu hidup yang baik dan wajar. Hal ini dapat melepaskan
istrinya dari kesunyian, ketakutan, dan penindasan, sama seperti yang dilakukan
Kristus terhadap jemaat.[38]
Teladan
dasar kasih suami untuk istrinya adalah kasih Kristus untuk jemaat. Karakter
dan deskripsi kasih itu dijelaskan dalam klausa “dan telah menyerahkan diri-Nya
bagi-Nya.” Frasa tersebut dalam bahasa asli sangat jelas yaitu παρέδωκεν ὑπὲρ αὐτῆς (paredoken huper autes). Frasa
“menyerahkan” dan “dirinya” menekankan fakta bahwa Kristus mengambil inisiatif
dalam menyerahkan diri-Nya sendiri kepada kematian.[39] Jika
kasih Kristus untuk jemaat harus menjadi teladan untuk para suami dalam
pengorbanan dirinya, maka kasih ini juga harus menjadi pola mereka terkait
dengan tujuannya (ay. 26-27). Dengan demikian Paulus mulai menjabarkan tujuan
dari kasih pengorbanan Kristus untuk jemaat dengan memakai tiga klausa tujuan
bahwa Ia menyucikan (ay. 26), menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan
cemerlang (ay. 27a), dan memampukan jemaat menjadi “kudus dan tak bercela (ay.
27c).”[40]
Tujuan Kristus menyerahkan diri-Nya adalah
untuk menyucikan. Kata yang digunakan dalam bahasa asli adalah ἁγιάσῃ (aorist,
aktif, subjunctif; hagiase, dari kata
hagios). Arti dari kata tersebut adalah
membuat suci, menguduskan,
menguduskan, menguduskan, menyucikan.[41]Ide
menguduskan atau menyucikan adalah ide memisahkan seseorang kepada Allah untuk
pelayanan-Nya. Hal ini merujuk kepada jemaat yang dibawa ke dalam “suatu relasi
eksklusif dan berdedikasi dengan Allah, sebagai umat kovenan baru yang kudus.”[42]
Sebenarnya
makna menyucikan atau memandikan diambil dari budaya di zaman itu berupa pemandian
seremonial di mana sebelum pengantin wanita diperhadapkan kepada pengantin
pria, dia menerima pemandian pembersihan dan kemudian didandani dengan susunan
pengantinnya. Ini memberikan sebagian gambaran dalam catatan Yahweh tentang
perlakuannya terhadap anak terlantar di Yehezkiel 16:6-14, di mana Ia
mengingatkannya bahwa, ketika Ia mencapai usia menikah, aku memandikannya
dengan air, aku juga mendandanimu dengan kain bordir dan aku menghiasimu dengan
perhiasan. Kata “menguduskan” digunakan dalam konteks yang tepat dalam arti
pertunangan (memisahkan seseorang sebagai istri). Dengan demikian memiliki
makna menyerahkan diri-Nya untuk mempertunangkannya dengan diri-Nya sendiri.
Kata kerja menguduskan mendahului kata sifat suci menjelang akhir.[43] Ada
juga pendapat yang mengatakan bahwa kata tersebut merujuk kepada kebiasaan
Yahudi dimana mempelai laki-laki memberikan cincin dan mengatakan kepada
mempelai wanita, bahwa ia telah dikuduskan baginya. Paulus sebenarnya ingin
mengajak pembaca untuk memilikirkan persiapan yang dilakukan oleh seorang
pengantin wanita untuk pernikahannya agar ia tampil di hadapan suaminya dengan
segala kecantikannya tanpa noda dan cela.[44]
Frasa
menyucikan dan memandikan terkait erat dengan air dan firman. Pada bagian ini,
pembersihan jemaat dianggap mendahului penyucian atau pemisahannya dalam
kekudusan. Verba “menyucikan” lebih sering disamakan dengan membersihkan.
Abbott berpendapat bahwa pembersihan terjadi pada waktu yang sama seperti
pengudusan tetapi secara logis mendahuluinya.[45] Pembersihan
menunjuk pada penghapusan dosa, sementara pengudusan berfokus pada pemisahan
bagi Allah. Pembersihan ini dicapai dengan memandikannya dengan air dan firman
(bdk. Tit. 3:5). Banyak penafsir mengasumsikan bahwa kata “memandikan” di sini
merujuk kepada baptisan, tetapi rujukan kepada memandikan atau air tidak harus
selalu merujuk kepada baptisan, dan satu-satunya motif ini disebutkan secara
spesifik di pasal 4:5, yang didaftarkan sebagai salah satu tujuan konfesi
tetapi tidak ditekankan secara khusus. Pada surat Rasul Paulus yang lain
mislanya 1 Kor 6:11, ada pada pembersihan rohani yang diselesaikan oleh Kristus
dari pada berbicara mengenai pembaptisan. Bagaimanapun juga di dalam Perjanjian
baru tidak pernah disebutkan tentang jemaat dibaptiskan.[46]
Rasul Paulus menyatakan bahwa penyucian tersebut bukan saja berlangsung dengan
jalan memandikannya di dalam air tetapi juga dengan firman (enhremati).[47] Hal
ini juga dikaitkan Paulus dengan pemandian suci atau baptisan dan dengan pengakuan
iman percaya di mana Kristus membuat gereja yang bersih dan suci bagi diri-Nya,
sehingga tidak lagi nampak cacat maupun kerut.[48]
Pekerjaan pengudusan Kristus menjadikan jemaat cemerlang, mulia dan cacat serta
kerut dibersihkan atau ditiadakan.[49]
B.
Suami
Mengasihi Istri Seperti Dirinya Sendiri (28-32)
Pada
bagian berikutnya Rasul Paulus menuliskan supaya suami mengasihi istri seperti
tubuhnya sendiri. Gambaran kasih yang dinyatakan seperti seseorang yang
mengasihi dirinya sendiri dalam hal mengasuh dan merawat. Kata “mengasuh,” dan
“merawat” juga dianalogikan seperti Kristus terhadap jemaat, yang adalah
anggota tubuh-Nya.
Pada
nasihat ini Rasul Paulus menggunakan kata, “opheilein” yang diterjemahkan
dengan kata “harus”. Kata ini memiliki arti bukan hanya harus tetapi juga sebagai
kewajiban. Dengan demikian, mengasihi jenis ini bukankah pilihan tetapi sebuah
kewajiban dan keharusan, bahkan ia menambahkan frasa seperti diri semdiri untuk
menegaskannya.[50]
Makna
kutipan kejadian 2:24 memiliki arti di mana suami menjadi sedaging dengan
istrinya. Ia bersatu dengan istrinya sama seperti anggota-anggota tubuh bersatu
dengan yang lain dan tidak sedikitpun terpikirkan untuk berpisah, karena itu
sama saja dengan merusak tubuhnya. Sebenarnya ini merupakan nilai yang sangat
luhur di zaman itu di mana pria maupun wanita begitu gampang bertukar-tukar
pasangan seperti seseorang yang bertukar pakaian.[51]
Akibat satu daging maka mencintai istri bukan hanya soal mencintai orang lain
seperti diri sendiri, namun pada dasarnya mencintai diri sendiri. Ini
diperjelas dengan ungkapan Adam mengenai Hawa sebagai “tulang dari tulangku dan
daging dari dagingku (Kej. 2:23).” Dengan demikian, mencintai istri karena
bagian dari dirinya sendiri. Suami yang mencintai istrinya, mencintai dirinya
sendiri dan merawatnya.[52]
Istri adalah bagian yang tak terpisahkan dari kerangka hidupnya sendiri.[53]
Ada
sebuah penalaran yang menjelaskan jika suami dan istri disatukan oleh Allah
menjadi satu daging. Persetubuhan jasmani dimaksudkan Allah untuk melambangkan
dan menyatakan kesatuan dua pribadi. Jika suami dan istri sungguh-sungguh
saling mengasihi, maka sungguh benar bahwa siapa yang mengasihi istrinya
mengasihi dirinya sendiri.[54] Oleh
karena itu dalam hal mengasihi, suami tidak sekedar memberikan nyawanya namun
juga mengasihi tubuhnya jika ia mengasihi istrinya.
Kristus
telah memberikan diri-Nya kepada jemaat untuk menyucikannya dan memandikannya.
Pembersihan ini disebabkan oleh pemandian rohani yang dihasilkan melalui firman
Injil Kristus yang murah hati. Kasih-Nya untuk jemaat adalah teladan untuk para
suami dalam tujuan dan sasarannya, dan juga dalam mengorbankan dirinya sendiri
(ay. 25). Teladan Kristus yang memberikan dirinya secara lengkap untuk
membersihkan dan membuat jemaat menjadi kudus, memberikan makna kepada para
suami untuk dan harus memiliki komitmen penuh terhadap istri pada kesejahteraan
yang menyeluruh, khususnya kesejahteraan rohani, dari istri mereka,[55]
suami harus mencari kesejahteraan spiritual tertingginya sendiri dan kebaikan
tertinggi istrinya dalam segala hal, yang disatukan dengan dirinya sendiri
dalam ikatan pernikahan.[56] Ini merupakan
bagian klimaks dari Paulus, di mana pernikahan membuat suami dan istri menjadi
satu tubuh (Kej.2:24) untuk menjelaskan kesatuan Kristus dan jemaat. Paulus
merangkum hal ini sebagai rahasia yang dalam.[57]
Paulus
menyatakan bahwa ini merupakan rahasia yang besar. Kata yang digunakan adalah
“musterion.” Kata ini sering digunakan untuk rahasia abadi yang agung dari
tujuan Allah bagi umat manusia, yang tersembunyi di masa lalu tetapi sekarang
dinyatakan dalam Kristus (3:3-4,9; 6:19). Secara umum (dalam bentuk jamak) juga
digunakan untuk kebenaran ilahi dan kadang-kadang (dalam bentuk tunggal)
digunakan untuk menunjukkan beberapa kebenaran mendalam dari rencana ilahi yang
telah diungkapkan yang tersembunyi. Dengan demikian Paulus ingin mengatakan
rahasia dalam Kejadian 2:24 mengacu juga kepada Kristus dan gereja-Nya.[58]
Perintah terakhir untuk mengunci poin ini, Rasul Paulus menyimpulkan kembali bahwa suami harus mengasihi istri seperti dirinya sendiri dan istri dinasehati untuk menghormati suaminya. Kata kerja, “menghormati” adalah kata kerja biasa yang memilki arti takut. Takut bukan berarti ketakutan karena teror. Kata tersebut berkaitan dengan ayat 21, yaitu tunduklah satu sama lain dalam takut akan Kristus,[59] tetapi kata itu memunculkan ide tentang air mata. Artinya cinta tidak dapat hidup berdampingan dengan air mata (Yoh. 4:18), tetapi cinta istri yang kuat dan mendalam terhadap suami hanya dapat didasarkan dengan rasa takut yang hormat. Ketakutan ini juga yang sering alkitab munculkan untuk menunjukkan sikap individu saat datang ke hadapan Allah, juga sikap anak-anak kepada orantua, sikap terhadap penguasa, hamba kepada tuannya dan istri kepada suami.[60] Dengan demikian, nasihat untuk istri untuk menghormati tidak ada bedanya dengan ayat. 21.
KESIMPULAN
Sikap
Kristus terhadap jemaat adalah gambaran relasi antara suami dan istri. Istri
diperintahkan untuk tunduk seperti jemaat kepada Kristus dan suami mengasihi
istri seperti Kristus mengasihi jemaat dengan mengorbankan diri-Nya dan
sebagaimana suami mengasihi dirinya sendiri. Meskipun demikian, bukan berarti
ketundukan istri adalah sikap yang sama seperti budaya di masa itu. Sikap
tersebut bersifat fungsional bukan inferioritas. Ini merupakan pola ilahi yang
telah Tuhan tetapkan dan ketundukan istri adalah bentuk sikap tunduk secara
sukarela sebagai bukti bahwa ia melayani Tuhan.
Hal
penting yang perlu diperhatikan adalah kata tunduk tersebut tidak hanya untuk
istri tetapi juga berlaku untuk semua jemaat dalam takut akan Tuhan untuk
saling merendahkan diri (ay. 21). Berdasarkan dua perintah tersebut, keduanya
merupakan hal yang sulit dikerjakan baik dari segi istri atau suami, sebab
teladan yang diberikan adalah Kristus sendiri, namun perlu dingat perintah ini
ditujukan kepada keluarga Kristen yang telah mengenal Kristus dan yang telah Ia
kuduskan.
[1]John R.W. Stott, Efesus
(Jakarta: Yayasan Komunikasi Bima Kasih, 2003), 11.
[2]Stott, 20-21.
[3]Merril C Tenney, Survey
Perjanjian Baru (Surabaya: Gandum Mas, 2009), 394.
[4]Stott, 21.
[5]Stott, 205.
[6] Peter T. O’brien, Surat
Efesus (Surabaya: Momentum, 2013), 494.
[7] O’brien, 495.
[8] J.L. Ch. Abineno, Surat Efesus (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2009), 208.
[9]O’brien, 494-495.
[10]O’brien, 496.
[11]Abineno, 204.
[12] Abineno, 204.
[13]Fritz Rienecker & CleonRogers,
Linguistic Key to The Greek New Testament
(Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House, 1980), 538.
[14]O’brien, 501.
[15]Abineno, 204.
[16]C.H. Abineno, 204-205.
[17]O’brien, 503
[18]Abineno, 205.
[19]F. F. Bruce, NICNT: The
Epistleto The Colossians, to Philemon, and to the Ephesians (USA: Wm. B.
Eerdmans Publishing Co, 1984), 386.
[20] Bruce, 383.
[21]O’brien, 508.
[22]O’brien, 508-509.
[23]O’brien, 509.
[24]O’brien 500-501
[25]O’brien, 502-503.
[26]Bruce, 384.
[27]O’brien, 503.
[28]Bruce, 384.
[29]O’brien, 503
[30]O’brien, 503-504.
[31]Francis Foulkes, TNTC: Ephesians (USA: IVP, 2009), 167.
[32]O’brien, 507.
[33]O’brien, 507.
[34]Abineno, 210.
[35]Fritz Rienecker & CleonRogers,
517.
[36] O’Brien, 507.
[37]O’brien, 509.
[38]Abineno, 210
[39]O’Brien, 510-511
[40]O’brien,512-513.
[41] Fritz Rieneker, 539
[42]O’Brien, 511.
[43]Bruce, 385.
[44]Foulkes,164.
[45]O’brien, 513-514.
[46]O’brien, 515-516.
[47]Abineno, 211.
[48] William Barclay, Pemahaman
Alkitab Setiap Hari: Surat-surat Galatia dan Efesus (Jakarta: Gunung Mulia,
2011), 262.
[49]Abineno, 213.
[50]Abineno, 213-214.
[51]Barclay, 263.
[52] Bruce, 391.
[53] Foulkes, 165.
[54] Stott, 219.
[55]O’brien, 516
[56] Foulkes, 165.
[57] O’brien, 533.
[58] Foulkes, 167.
[59] Bruce, 395.
[60] Foulkes, 168.
Komentar
Posting Komentar